ketika penyair membidik lautan
Riwan kusmiadi
Aku disini diatasnya karang dan disela pepohonan cemara tempat ku berpijak.
Dan ini bukan waktuku tuk bermimpi.
Kurayu biduk hatimu dalam dermaga cinta ku.
Ku halau takutku dengan segumpal keberanianku.
Dan,... Ini lah aku.....
Dengan putihnya ketulusan yang kutawarkan melebihi dari ribuan buih di antara deburan ombak itu.
Dan,.... inilah aku .....
Yang kan membalur dahaganya hati mu dengan ketulusan hati ku.
Kini, disela deburan ombak itu,...
kubisikkan cinta ini kala cemara itu berdesir.
disebuah pantai indah ditengah hamparan pasir yang memutih.
ku tulis cerita itu bagai rayuan nyiur yang teramat manis,
kubelai dengan sepoi angin seindah awan biru dengan kata yang kuanggap indah.
Inilah cinta ku yang ku usap peluh itu dengan kucuran keringat.
dengan ketakutanku bagai aroma garam yang melengkapi hidangan syairku. Peluh
Seperti aku terduduk......
Di pohon yang tak berdaun dan mengering
Dahagaku pun hadir di ujung haus tak bertepi.
Seperti berjalan diantara fatamorgana dimusim yang panas,
kian hari kian nyata bermain dipelupuk mata,
kini ku reguk tetesan itu namun semu.
kurangkul ia mendekat seketika itu pun menjauh,
kusapa ia seraya menjawab lalu menghilang.
Tubuh bergetar dengan hasrat penuh peluh yang tak berganti.
dahagaku pun mengering.
Namun seketika itu engkau hadir.
Ku mensyukuri hadirnya dirimu dalam lautan hidupku,
tersentuh duri yang kau basuh dengan ketenangan hati,
berderai sedih ku yang kau usap rambutku dengan kasihmu.
Ternodanya wajahku yang kau bersihkan dengan embunmu.
Sungguh bahagia jika kau berada disini menghapus semua sakit yang kurasa.
seadainya kau tahu...
ku tak ingin kau jauh, seandainya kau tahu aku kan selalu cinta..
Karena kau tahu, waktu tak mungkin menunggu
Seperti matahari yang belum tentu terbit esok pagi, begitu juga hidup. Tak ada yang tahu sampai kapan kita bisa menapaki hari, sampai kapan kita bisa hidup dengan orang-orang yang kita cintai.
Bila hari ini kita masih diberi hidup, manfaatkan setiap detiknya untuk memberikan cinta. Mumpung lidah masih bisa bicara. Mumpung tangan masih bisa memeluk. Mumpung hidup masih bisa menyatu.
Pembaca, apa yang kukatakan ini adalah apa yang aku alami. Suatu waktu di dalam hidupku, aku pernah merasakan takutnya kehilangan. Ketakutan yang menyekap begitu erat hingga menimbulkan rasa sakit yang sangat. Saat itu, sungguh, tak ada tempat bergantung yang nyata.
Serangan jantung itu datang begitu saja. Tak ada hujan tak ada angin, tak ada tanda-tanda sebelumnya. Tiba-tiba saja suamiku merasakan nyeri di dada kirinya dan langsung hilang kesadaran. Kepanikan luar biasa membuatku tak mampu berpikir. Saat itu satu yang kutahu, aku tak ingin kehilangan dia.
Walaupun akhirnya tindakan medis dapat memulihkan kondisi suamiku, namun kejadian itu membawaku pada renungan mendalam. Suatu saat, kalaupun kehilangan itu nyata apakah aku akan sanggup menanggungnya? Aku tak bisa menjawab itu sekarang. Yang kutahu, setiap detik waktuku tak akan kusia-siakan. Tak akan kuisi waktu yang tersisa untuk selain cinta. Tak ada waktu untuk kebencian, perselisihan, karena ternyata waktu tak pernah berjalan lamban.
Hingga saat ini Pembaca, rasa sakit akan takut kehilangan itu masih sangat membekas. Sebuah pengalaman traumatik yang tak mungkin terlupakan begitu saja. Bahkan terkadang rasa itu masih mampu menyebabkan air mata.
Bukan, bukan aku tak mau menerima kehendak Tuhan. Namun ternyata makna keikhlasan tidak dapat dihayati hanya dengan diucapkan. Aku tidak mampu mengajari pembaca sekalian tentang makna keikhlasan. Karena hingga detik ini aku juga masih meraba dan belajar.
"Di sekian waktu yang tersisa dalam hidupku,
Bukan kesempurnaan yang kuinginkan,
Melainkan cukuplah hanya kebaikan.
Tak mungkin aku meminta waktu lebih
Ketika batas telah bersurat takdir
Kumohon jangan pernah kau bosan
Ketika kata cinta kutebar memenuhi setiap udara yang kau hirup
Karena kuingin mengatakannya selagi aku bisa
Karena kuingin kau mendengarnya selagi kau sempat
Karena kau tahu, waktu tak mungkin menunggu....."
Pembaca, jangan isi hari-hari kita untuk hal-hal yang menyakitkan. Jangan beri ruang untuk kesedihan muncul dalam keluarga kita. Karena seperti suamiku bilang, kebahagiaan adalah pilihan. Tentukan pilihan itu sekarang, atau waktu tidak akan mungkin memberikan kesempatan kita untuk mengulang. Jangan pernah jadikan hari ini menjadi sesal di esok hari. (*)
wahai bunga yang berseri...
Kepayang ia melambung bagai sibunga ilalang,
terbuai dalam surut dan sejuknya si angin siang.
Dengan gerak...berliuk berirama seiring gemerincik air,
serta gemeretak situa betung yang bergesek dendang.
Hmm...Sepoi sepoi sejuk...
Ia datang dengan senandungnya yang riang mencariku di dalam kerlingan.
Aku terbuai...
Hingga senyumu memenuhi duniaku sampai malam.
Sepertinya......
Di ujung bayangmu hatiku tersangkut,
tak ada ranting kedua tuk menahan dan tak ada rimbun dedaunan tuk berteduh.
Di pangkal nadiku telah teraba denyutnya yang berbisik.
Wahai bunga yang berseri....
ketika mentari dan rembulan saling bertukar senyum...
ku berharap ceria itu pun kan datang.
Wahai bunga yang berseri...
kan kuhampiri dirimu dengan setetes madu
yang kan membaluri pahit rindumu menjadi sirna
Mimpi ku.
.
Ini lebih dari sebuah kebenaran!
21 Nov
Ini lebih dari sebuah kebenaran!
Ketika mereka bertanya tentang kebenaran atas puisi cintaku ini
Jawabku: yang kutulis ini lebih dari sebuah kebenaran, ini adalah puisiku
Dalam coretan seluruh rasaku, tentang kamu…
Kau hadir dalam kesetiaan dan kesederhanaan cintamu atas kehidupan
Cinta dalam tangan-tangan diam, tekun membantu mereka yang membutuhkanmu
Dalam keikhlasan aura senyummu, kau berikan harapan pada mereka
Pandangmu bertemu tatapku!
Kutahu kau tak akan mampu menghindar
Kilas pandang terlalu pekat menyimpan selaksa sasmita di hatimu
Membangun getar di seluruh aliran nafasmu
Ragu pada nurani: dikarenakan cinta tahu bagaimana cara melanggar norma!
Dini hari di awal musim dingin mencekam
Dari Tepian Lembah Sungai Elbe
Kuberusaha untuk menggapaimu dengan semua dedikasi nafasku
Meskipun aku lelaki sederhana tapi aku adalah lelaki satu antara kata dan perbuatanku
Ku pusatkan semua dedikasiku
Kutata semua langkahku
TAPI…
Aku tidak tahu, aku yang biasanya terlahir sebagai pemenang…, tiba-tiba ada sebuah kekuatan dahsyat yang membuatku tak berdaya
Aku seperti terhenti tanpa daya!
Aku tidak bisa bergerak menggapai mutiara itu…
Aku amat marah dengan ketidakberdayaanku!
Aku tidak percaya seluruh keperkasaanku tidak berdaya mengatasi sejuta tangan magis yang menghentikan langkahku
TAPI…
Tangan-tangan magis itu tampaknya ingin mengajarkan aku sesuatu.
Dia ingin memberitahu bahwa aku cuma lihat fatamorgana.
Itu bukan mutiara.
Itu cuma batu kristal belaka yang mirip permata!
Mutiara TIDAK akan mau disentuh oleh tangan-tangah kotor secara rendah pada lelaki yang berprestasi bedebah
Mutiara bersinar dengan auranya dan hanya bisa disentuh oleh spirit tangan-tangan dari lelaki berdedikasi.
Tangan-tangan Magis itu tampaknya memang sengaja menghentikan langkah untuk mengajarkan aku satu hal:
“Lihatlah apa yang kamu anggap mutiara, tenyata sebuah batu kristal belaka yang merasa bangga membiarkan dirinya disentuh oleh tangan-tangan kasar dari para bebedah cinta belaka!”
Dari Tepian Lembah Sungai Elbe
Ketika mereka bertanya tentang kebenaran atas puisi cintaku ini
Jawabku: yang kutulis ini lebih dari sebuah kebenaran, ini adalah puisiku
Dalam coretan seluruh rasaku, tentang kamu…
Kau hadir dalam kesetiaan dan kesederhanaan cintamu atas kehidupan
Cinta dalam tangan-tangan diam, tekun membantu mereka yang membutuhkanmu
Dalam keikhlasan aura senyummu, kau berikan harapan pada mereka
Pandangmu bertemu tatapku!
Kutahu kau tak akan mampu menghindar
Kilas pandang terlalu pekat menyimpan selaksa sasmita di hatimu
Membangun getar di seluruh aliran nafasmu
Ragu pada nurani: dikarenakan cinta tahu bagaimana cara melanggar norma!
Dini hari di awal musim dingin mencekam
Dari Tepian Lembah Sungai Elbe
Bukan MUTIARA!
17 Nov Kupikir kau Permata…Kuberusaha untuk menggapaimu dengan semua dedikasi nafasku
Meskipun aku lelaki sederhana tapi aku adalah lelaki satu antara kata dan perbuatanku
Ku pusatkan semua dedikasiku
Kutata semua langkahku
TAPI…
Aku tidak tahu, aku yang biasanya terlahir sebagai pemenang…, tiba-tiba ada sebuah kekuatan dahsyat yang membuatku tak berdaya
Aku seperti terhenti tanpa daya!
Aku tidak bisa bergerak menggapai mutiara itu…
Aku amat marah dengan ketidakberdayaanku!
Aku tidak percaya seluruh keperkasaanku tidak berdaya mengatasi sejuta tangan magis yang menghentikan langkahku
TAPI…
Tangan-tangan magis itu tampaknya ingin mengajarkan aku sesuatu.
Dia ingin memberitahu bahwa aku cuma lihat fatamorgana.
Itu bukan mutiara.
Itu cuma batu kristal belaka yang mirip permata!
Mutiara TIDAK akan mau disentuh oleh tangan-tangah kotor secara rendah pada lelaki yang berprestasi bedebah
Mutiara bersinar dengan auranya dan hanya bisa disentuh oleh spirit tangan-tangan dari lelaki berdedikasi.
Tangan-tangan Magis itu tampaknya memang sengaja menghentikan langkah untuk mengajarkan aku satu hal:
“Lihatlah apa yang kamu anggap mutiara, tenyata sebuah batu kristal belaka yang merasa bangga membiarkan dirinya disentuh oleh tangan-tangan kasar dari para bebedah cinta belaka!”
Dari Tepian Lembah Sungai Elbe
Tidak ada komentar :
Posting Komentar